Rabu 07 Desember 2021
PR CENTER FOR AUSTRALIAN STUDIES (CFAS)
PUSAT STUDI AUSTRALIA – Mengadakan webinar internasional di Menara Universitas Nasional (UNAS) Jakarta – Webinar ini dihadiri oleh Marsekal (Purn) Chappy Hakim sebagai Chairman Pusat Studi Air Power Indonesia yang memberi konteks dalam pertahanan Indonesia sedangkan dari pengamat politik dan pengamat kebijakan luar negeri Indonesia Kevin Evans sebagai Indonesia Director of The Australia-Indonesia Centre hadir dalam memberikan konteks perkembangan sejarah dan diskursus AUKUS. Dr. Robi Nurhadi, S.IP, M.Si (Universitas Nasional) dan Prof. Richard Chauvel (University of Melbourne) sebagai akademisi juga turut andil dalam diskusi AUKUS dan Kesiapan Strategis Pertahanan Udara Indonesia.
Keberadaan AUKUS menyebabkan berbagai kekhawatiran negara-negara Asia, menanggapi hal tersebut Indonesia menyatakan bahwa kawasan ASEAN harus tetap bebas dari nuklir, guna mencegah terjadinya perlombaan senjata. Melalui Webinar AUKUS & Kesiapan Strategis Pertahanan Udara Indonesia, kita akan membahas bagaimana polemik politik Australia dan Indonesia, serta kesiapan pertahanan Indonesia terhadap dinamika politik Australia dan kawasan.
Dr. Erna Ermawati Chotim, M.Si (Dekan FISIP UNAS) dalam kata sambutannya mengatakan bahwa Kawasan Indo-Pasifik merupakan salah satu kawasan regional yang mempunyai potensi yang sangat besar dari sisi geopolitik, keamanan, dan ekonomi negara-negara sekitarnya. Ketegangan yang terjadi antara Cina dengan Amerika Serikat menjadi momentum yang dapat menyebabkan gejolak, termasuk lingkungan regional. Sejauh mana strategi-strategi yang dibangun dalam trilateral saat ini dan ke depan berpengaruh terhadap posisi Indonesia, terutama sebagai negara non-blok, terlebih secara geografis posisi Indonesia sangat dekat dengan Australia. Dalam konteks diatas, maka sangat penting membangun pemahaman terkait dengan keamanan wilayah di dalam dan luar teritorial Indonesia, termasuk bagaimana Angkatan Laut maupun Angkatan Udara Indonesia membangun dan memperkuat peningkatan pertahanan di wilayah timur Indonesia.
Kevin Evans (Indonesia Director of The Australia-Indonesia Centre) Sebagai orang Australia yang sudah lama tinggal di Indonesia mengatakan kalau ada perkembangan besar seperti ini salah satu faktornya adalah bagaimana kira-kira negara yang bersangkutan bisa melihat dampak dari negara-negara yang lain sebagai bagian dari kesiapannya. Ia mengingatkan bahwasannya Ketiga negara yang terlibat dalam AUKUS yaitu Australia, Amerika, dan Inggris sebetulnya sudah bersifat sekutu selama 100 tahun, ini bukan hal baru ketika ada 3 sekutu yang sudah lama bekerja sama secara global di kawasan. Kevin juga menegaskan bahwasannya AUKUS merupakan bentuk dari respon terhadap dinamika politik beberapa tahun terakhir di kawasan Asia-Pacific dimana sekarang ada negara yang menganggap bagian dari perairan Indonesia dari subjek zona ekonomi itu merupakan bagian dari dia juga.
Marsekal (Purn) Chappy Hakim (Chairman Pusat Studi Air Power Indonesia) menegaskan Kekuatan udara sangat dibutuhkan, tidak hanya oleh satuan dari Angkatan Udara sendiri, tetapi justru lebih banyak juga dengan pengaruh-pengaruh pasukan di darat maupun di perairan dalam hal ini di laut. Marsekal Chappy menggambarkan Dengan AUKUS, pasti frekuensi Air Traffic juga akan berkembang. Rawannya wilayah udara Indonesia dalam perspektif pertahanan udara nasional dengan berkembangnya Global Economic Growth ke Pasifik dimana frekuensi Air Traffic itu meningkat dan sekaligus pada saat yang bersamaan upaya-upaya untuk mengamankan wilayah udara ini memunculkan banyak sekali tantangan.
Dr. Robi Nurhadi, S.IP, M.Si (Universitas Nasional) melontarkan perspektif bahwa AUKUS itu memunculkan satu pertanyaan mendasar bagi masyarakat khususnya. Apakah kehadirannya itu merupakan sebuah ancaman atau harapan. pertanyaan ini muncul karena kita tahu bahwa AUKUS ini tidak terlepas dari apa yang dilakukan oleh pihak China sebelumnya yang kemudian ini memunculkan banyak kekhawatiran kepada negara-negara yang berkonflik khususnya di sekitar wilayah Natuna Utara. Oleh karena itu ada tiga hal yang ingin saya sampaikan berkaitan dengan pertanyaan tersebut. Yang pertama, seberapa mahal sebenarnya AUKUS ini harus ditanggung biayanya oleh masyarakat dunia wabil khusus bagi negara-negara di Asia Tenggara dan Indonesia. Yang kedua kita akan melihat sebenarnya AUKUS ini narasinya apa dan seperti apa, kita akan melihat lebih dalam narasi sebenarnya apa. Yang ketiga, dampaknya terhadap Indonesia, terhadap Asia Tenggara dan Australia sendiri kita akan seperti apa. Dr. Robi menegaskan pada saat yang sama, diplomasi lampu merah Indonesia ini juga bisa dipengaruhi oleh menguatnya pengaruh Cina di Indonesia. Ini juga pesan bagi Indonesia untuk lebih berhati-hati supaya kita tidak menyalahkan diplomasi lampu merah. Saya tentu berharap bahwa masa depan Indo-Pasifik ini bisa kembali pada tiga hal. Pertama, memang kita harus mendorong agar Cina ini menghentikan akrobatik politiknya, maksudnya National Interestnya silahkan dijalankan tetapi gaya komunikasi politik dalam menyampaikan itu penting untuk lebih soft. Saya yakin kewibawaan sebuah negara itu hadir justru dengan sikapnya yang lebih bisa diterima, dibanding memberi hal yang menakutkan bagi Negara-negara lain. Saya juga berharap kita bisa mendorong Cina masuk ke garis penyelesaian melalui perundingan-perundingan Internasional. Terutama misalnya yang berkaitan dengan masalah-masalah yang berkaitan dengan negara-negara di Asia Tenggara. Yang kedua kami tentu berharap bahwa AUKUS ini bisa bertransformasi dari Pakta Pertahanan menjadi faktor perdamaian, ini merupakan suatu yang penting bagi AUKUS bahwa potensinya besar yang melibatkan Australia Inggris dan Amerika dan tentu besar juga dampaknya kalau ini tidak menakutkan, tetapi mendamaikan. Yang ketiga, tatanan itu akan terbangun kalau Indonesia dan ASEAN itu menjadi polar baru yaitu polar perdamaian.Prof. Richard Chauvel (University of Melbourne) menjelaskan bahwasanya AUKUS merupakan sebuah respon terhadap lingkungan strategis yang berubah dengan cepat di kawasan Indo-Pasifik dengan meningkatnya ketegangan antara AS dan China. Update dari Defence Strategic pada tahun 2020 mengatakan bahwa prospek konflik intensitas tinggi di Indo-Pasifik, meski masih tidak mungkin sekarang pun sudah tidak terlalu jauh. Perhatian pemerintah Australia dalam pertimbangan kebijakan strategis pertahanan itu fokusnya jelas pada persaingan Amerika dengan Cina di belahan Indo-Pasifik. Prof. Richard juga memaparkan bahwa pusat perhatian AUKUS ini boleh dianggap sebagai respon terhadap konstelasi sedikit di Indo-Pasifik yang dimana persaingan dan tensinya Amerika dengan Cina semakin lama semakin ketat. Saya pikir kompleksitas atau kerumitan konstelasi strategis di Indo-Pasifik lebih rumit daripada persaingan Amerika dengan Cina. AUKUS tidak hanya melibatkan adikuasa tetapi juga Negara-negara seperti Indonesia, Australia, Taiwan dan sebagainya.