Ketika menelusuri peta wilayah Australia, kita akan menemukan nama Adelaide, kota yang mungkin cukup jarang terdengar, khususnya sebagai objek wisata, dan diisukan sebagai kota tanpa kehidupan di kalangan orang-orang Indonesia di Sydney dan Melbourne.
Adelaide adalah ibu kota Australia Selatan yang memiliki luas wilayah sebesar 3.260 km persegi dengan jumlah penduduk sekitar 23447 orang pada tahun 2023. Kota yang dijuluki sebagai kota gereja tersebut masuk ke dalam Kawasan beriklim subtropis, dengan suhu tertinggi harian rata-rata di atas 25°C dan suhu tterendah harian rata-rata di bawah 17°C.
Seperti kebanyakan kota di Australia, Adelaide muncul sekitar tahun 1800-an, tepatnya pada tahun 1836. Sebelum kedatangan orang Inggris dan Eropa, tanah di sekitar Adelaide sudah dihuni oleh orang-orang Aborigin dari suku Kaurna. Mereka diperkirakan telah berada di sana sejak 40.000 tahun yang lalu, dan mengalami penyusutan populasi seiring gelombang kedatangan orang-orang kulit putih.
Berbeda dengan orang-orang eropa, masyarakat suku Aborigin tidak memiliki konsep batas-batas kepemilikan tanah. Mereka berburu dan menetap di mana saja, di daerah yang menjanjikan kehidupan untuk mereka. Ketika orang-orang kulit putih pertama kali datang ke Kawasan Adelaide, mereka mulai mencari tanah yang dapat ditinggali, dan langsung membangun batas-batas klaim wilayah.
Secara berlahan, hal tersebut mengakibatkan orang-orang Aborigin mulai terpinggirkan dari Kawasan. Pemerintah kulit putih kemudian memberikan lahan Garapan di daerah Port Lincoln untuk para suku Aborigin. Namun pada tahun 1960, masyarakat Aborigin mulai Kembali ke Adelaide.
Mathew Flinders, sebagai penjelajah kulit putih pertama yang memetakan wilayah Australia, mencatat di dalam jurnal perjalanannya tentang keberadaan satu gunung yang diberi nama “Mount Lofty”, yang kini masuk ke dalam wilayah Adelaide.
Pada tahun 1830, penjelajah lain bernama Charles Sturt menapakan kakinya di Adelaide. Saat Sturt memandang bentang wilayah yang ditapakinya, ia berfikir bahwa Kawasan tersebut layak untuk dihuni, dan mendapatkan ide untuk membangun kota di sana.
Ketika Sturt kembali ke Adelaide pada tahun 1833 dengan rencana pembangunan kota, seorang pengusaha kaya bernama Wakefield memiliki ide untuk mendatangkan orang-orang Inggris ke Adelaide. Ia kemudian menawarkan gagasannya kepada pemerintah Inggris yang langsung diterima oleh pemerintah.
Wakefield berpendapat bahwa tanah Adelaide akan lebih baik jika dikotak-kotakan dan dibagikan secara gratis kepada siapapun yang ingin tinggal, menetap, dan bekerja di Adelaide. Tak lama kemudian, Wakefield menyebarkan iklan melalui surat kabar Inggris, yang menyatakan bahwa siapapun bisa datang ke Adelaide, baik sendiri atau Bersama keluarga, kerabat, hingga pembantu. Wakefield juga menambahkan bahwa setiap orang yang membeli tanah sebanyak 80 hektar maka akan mendapatkan 1 hektar tanah gratis di area perkotaan”. Hal ini tentunya memberikan dua keuntungan, yaitu:
- Para pembeli dapat menginvestasikan tanah 1 hektar yang mereka punya di daerah perkotaan.
- Para pembeli dapat menggarap tanah mereka yang sebanyak 80 hektar di wilayah pedesaan.
Pada tahun 1836, gelombang pertama calon penghuni Adelaide mendarat di Kangaroo Island. Mereka belum bisa menikmati Kota Adelaide karena daerah tersebut belum dikotak-kotakan, sebagaimana yang dikatakan Wakefield. William Light, sebagai perencana tata kota yang diamanatkan untuk membagi-bagi wilayah Adelaide, mendapatkan tekanan dari para pembeli tanah yang telah datang ke Australia.
Dalam waktu 2 bulan, Light akhirnya berhasil menyelesaikan tugas perencanaan Kota tersebut. Adelaide dibagi menjadi beberapa bagian sub-kota, yang pusatnya berada di Victoria Square, taman kota yang berada di jantung Adelaide. Light turut membangun Kawasan north terrace sebagai daerah kultur, yang kini menyimpan berbagai catatan sejarah, seni, budaya, dan literatur-literatur yang menopang pembangunan dan pertumbuhan Kota Adelaide. Di sana pula letak Universitas Adelaide, museum, galeri seni, dan sejenisnya berada.